Sabtu, 06 Juni 2009

Pilih Takut atau Berontak (---2, Habis)

Jika hak asasi Manohara dan hak kedaulatan NKRI mendapat pembelaan, kenapa hak Prita untuk mengadukan nasibnya justru terkesan dibiarkan. Apa sih sebenarnya salah Prita yang mengadu berbuntutkan pada status tahanan padanya.

Di lain waktu, Khoe Seng Seng alias Aseng justru mendapat hukuman denda Rp 1 miliar. Karena mengadukan masalahnya pada sebuah media cetak Kompas. Permasalahannya adanya perselisihan antara Aseng sebagai penyewa took pakaian di sebuah pasar di Jakarta dengan pihak pembangun.

“Yah mungkin, keadilan hanya milik mereka yang berduit. Sedangkan kami yang orang kecil tidak berkesempatan untuk memiliki keadilan itu,” tutur Aseng seperti yang dilansir dari sebuah program berita di TV One, Jumat (5/6).

Jika memang demikian adanya, tentunya tidak salah jika sebagian wartawan di beberapa kota seperti Makasar melakukan unjuk rasa mengenai kebebasan press. Tidak lah mengherankan jika banyak kalangan yang bergembira karena diizinkannya Prita untuk kembali ke keluarganya.

Saya adalah orang yang gemar menulis. Menulis apapun baik untuk konsumsi pribadi maupun dibaca oleh orang lain. Jujur, sejak kejadian Prita tersebut, saya jadi canggung untuk menulis. Rasa kebebasan saya menulis seakan diborgol. Bukan karena takut mendapat dakwaan serupa, tapi saya takut mata hukum seolah buta, sehingga tidak bisa memutuskan keadilannya dengan baik.


Saya yakin, pembesar pengadilan Negara ini masih banyak yang bersih untuk menentukan yang mana benar, yang mana salah. Saya yakin, warga Negara ini masih banyak yang berbesar hati untuk menerima kritikan, protes, maupun masukan dari warga lain. Sehingga mata hatinya tidak dibutakan oleh rasa angkuh.


Saya yakin, masih banyak orang-orang kaya di Negara ini yang tidak akan menggunakan uang mereka untuk membeli keadilan. Masih banyak petinggi Negara yang membela rakyat (slogan Mega-Pro). Masih banyak orang-orang besar yang berpikir denga hati nuraninya (slogan JK-WIN). Hingga akhirnya akan menciptakan pribadi yang berbudi (slogan SBY), entah itu orang besar maupun kecil. Yang kita inginkan hanyalah Indonesia Jaya, Sejahtera, Adil, dan Makmur.


Namun untuk mencapai semua itu, haruskah kami masyarakat kecil Tutup Telinga, Tutp Mata, dan Tutup Mulut, bahkan menghentikan tarian jemari kami untuk menanggapi segala sesuatu yang kami anggap tidak sesuai untuk kami.


Jaya Indonesia, Jayalah Negaraku

Pilih Takut atau Berontak (---1---)


Sejak seminggu terakhir ini, selalu saja ada berita yang menurutku begitu menarik untuk diikuti. Yang pertama adalah kisah dramatis kembalinya artis Manohara Odelia Pinot ke ibunya, Daisy Fajarina pada minggu (24/5). Manohara mengaku bahwa ia merasa senang karena telah terlepas dari Pangeran Kerajaan Kelantan, Malaysia, Tengku Fachry. Manohara dan ibunya menyatakan bahwa pangeran tersebut telah melakukan kekerasan fisik, psikologi, bahkan seksual pada manohara sejak mereka menikah pada Agustus silam.


Kisah kembalinya Manohara tersebut bersamaan dengan masuknya beberapa Kapal Polisi Malaysia ke wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sekitar Kamis (28/5), berulangkali Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia menemukan kapal-kapal Malaysia memasuki wilayah Ambalat, Kalimantan Timur. Tentunya, hal ini telah melanggar perbatasan Malaysia dan Indonesia. Tidak heran jika, TNI AL memberikan peringatan secara lisan pada kapal-kapal tersebut. Namun demikian, meski TNI AL telah berulang kali memberikan peringatan, kapal-kapal Malaysia terus saja gencar melewati perbatasan yang kaya akan minyak tanah dalam laut tersebut.

Berbagai kalangan masyarakat Indonesia menanggapi dua berita ini dengan beragam. Semua tanggapan tersebutnya dapat disaksikan di televisi maupun di internet, bahkan di media cetak. Ada yang menanggapinya secara tenang, ada pula yang menanggapinya secara keras.

Beberapa komentar yang saya baca di internet menyatakan, bahwa masyarakat Indonesia siap perang untuk membela tanah air, Negara, dan bangsa ini. Bahkan ketiga pasangan capres-cawapres untuk pemilihan presiden 2009 mendatang turut memberikan komentar.

Susilo Bambang Yudhoyono misalnya yang meminta Kedutaan Besar Republik Indonesia dan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia untuk bersikap professional. Jangan sampai karena rumah tangga Manohara-Tengku Fachry dapat memecahbelahkan persahabatan Indonesia-Malaysia. Namun untuk masalah pelanggaran Hak Asasi Manusia seperti yang dilaporkan Manohara tentunya harus ditanggapi secara hukum. Sedangkan kasus Ambalat, SBY sangat menaruh perhatian.

Begitu juga dengan pasangan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto dan Megawati-Prabowo menanggapi bahwa kasus Ambalat merupakan kasus pelanggaran kedaulatan. Batas Negara adalah harga mati yang harus dipertahankan, demikian sekiranya tanggapan mereka.

Di dua pemberitaan terseut, tampak sekali pemerintah Indonesia sangat membela hak-hak bangsa ini. Namun, semua itu tidak tersiratkan ketika seorang warga Negara Indonesia yang mengadukan nasibnya melalui surat elektronik. Yah, warga Negara tersebut adalah Prita Mulyasari. Ibu dua anak itu terpaksa menjalani hukuman sebagai tahanan kota sejak ia didakwa sebagai orang yang mencemarkan nama baik Rumah Sakit Omni Internasional Jakarta.


Kasus ini bermula ketika Prita menanyakan hasil laboratorium mengenai trombosit kepada seorang dokter di rumah sakit tersebut. Prita menemukan perbedaan jawaban dari laporan secara lisan yang menyatakan trombositnya berjumlah 27000 dengan hasil laporan laboratorium yang ditunjukkan padanya yaitu lebih dari 200000 jumlah trombosit.


(silakan baca http://suarapembaca.detik.com/read/2008/08/30/111736/997265/283/rs-omni-dapatkan-pasien-dari-hasil-lab-fiktif )

Karena penasaran, Prita pun mengajukan pengaduan ke rumah sakit sesuai prosedur. Namun, Prita mengatakan, pengaduan tersebut tidak mendapat tanggapan. Ia pun berinisiatif untuk melakukan protes dengan menggunakan jaringan internet.

Ternyata pihak rumah sakit tidak terima dengan cara Prita mengadu ini. Akhirnya, Prita dan Rumah Sakit berurusan dengan pihak kepolisian. Namun, betapa kagetnya Prita, bahwa justru ialah yang ditahan dan dianggap sebagai tahanan kota. Bahkan di hari pertama penahanannya, setelah ia disidang, ia tidak diperkenankan untuk menengok anak-anaknya dan berpamitan dengan suaminya. Ia pun didakwa melanggar pasal 27 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).