Minggu, 17 Agustus 2008

Dirgahayu Indonesiaku




Tujuh belas Agustus tahun empat lima
Itulah hari kemerdekaan kita
Hari merdeka...nusa dan bangsa
Hari lahirnya bangsa Indonesia...mer-de-ka

Sekali merdeka tetap merdeka
Selama hayat masih dikandung badan
Kita tetap...setia...tetap...sedia...
Membela negara Indonesia

Kita tetap...setia...tetap...sedia...
Membela negara kita




Masih adakah...hari kemerdekaan itu bagi bangsa kita
Masih adakah semangat nasionalisme membela negara kita
Apa yang sudah kita lakukan untuk negara kita
Padahal negara kita telah memberi banyak pada kita

Kekayaan yang melimpah jadi bahan kerakusan kita
Tidak ingatkah kita
ketika para pejuang membela negara yang kaya ini untuk kita
Tidak ingatkah kita
Ketika para pejuang bersimbah darah untuk kelangsungan hidup kita

Sedangkan mereka...
Kini menyatu dengan tanah pertiwi
Tanpa sempat merasakan apa yang telah mereka bela

Padahal, mereka hanya ingin Merah Putih berkibar di Indonesia
Sedangkan kita...
Mengibarkan bendera pun terkadang enggan...
apalagi menaruh tangan kanan ke kening
untuk menghormati merah putih

Bukan benderanya yang kita agungkan...
Tapi semangat mempertahankan bendera berkibar di tanah air
adalah perjuangan...

Tak perlu lagi kita angkat senjata berperang di medan laga
Tapi, manfaatkan ilmu untuk kebanggaan bangsa
Agar negara ini tidak dijajah lagi oleh ketamakan

Jumat, 01 Agustus 2008

The New Spirit of Ponti City...




Spirit baru itu telah hadir di Kota Khatulistiwa ini. Kenapa tidak. Sejak 7 April kami mengenyam bangku kuliah jurnalistik, akhirnya apa yang kami bingungkan pun, terbit juga.

1 Agustus 2008, semangat itu hadir dengan nuansa merah menyala di persimpangan jalan. Semangat yang diperkenalkan dengan masyarakat Pontianak. Semangat Tribun Pontianak.
Banyak SMS yang masuk memberikan pujian kepada Tribun. Apa lagi yang bisa dikata, Alhamdulillahirabbil ‘alamin.
Tapi, pujian itu memberi arti pada kami kru Tribun Pontianak, untuk menjadi lebih baik lagi keesokan harinya. Bukan untuk mencari pujian, tetapi menyajikan yang terbaik bagi pembaca.
Mungkin sebelum 1 Agustus, Tribun Pontianak was underestimated. Bahkan, aku, sebagai reporter di media baru ini, sempat dianggap sebagai wartawan Bobo oleh seseorang, karena tubuhku kecil (plus imut kali’...hehehehe) dan tidak bisa menunjukkan media cetakku. Tapi tak masalahlah. Adakalanya, diam itu emas. Akhirnya, 1 Agustus memberikan bukti bahwa aku bukanlah wartawan Bobo.
Aku masih ingat ketika awal kuliah di kelas Tribun Pontianak. Aku dan temanku lainnya harus pulang larut malam. Jujur, berat rasanya. Belum lagi mendapat kritikan yang kadangkala keras dari instruktur seperti Cak Febi, Om Albert, en Daeng Asmadi. Jujur, saat itu pikiran dan perasaanku memprotes kritikan itu. Tapi, sekali lagi diam itu emas. Eit, jangan salah...diam di sini bukan sembarangan lho...Diam sambil belajar.
Aku masih ingat ketika beberapa pembicara hadir di kelas kami. Seperti Mister Ronald Ngantung asal Tribun Timur, Kang Yusran asal Tribun Jabar, Pak Uki asal Tribun Kaltim, Mbak Hasanah asal Tribun Jabar, Dahlan asal Tribun Timur, dan masih banyak lagi mutiara-mutiara Persda yang tidak bisa disebutkan satu per satu.
Jujur, waktu itu aku dan teman-temanku sempat mengantuk. Tapi, kami berusaha menahan rasa kantuk itu. Ternyata menahan rasa kantuk itu menjadi percikan air bagi kami.
Why not gitu lho...keberatan, perasaan bosan, mata mengantuk kini menjelma menjadi pembelajaran yang terbaik buat kami. Ternyata beginilah kerja sebagai seorang wartawan. Kata Om Albert yang selalu aktif di albertjoko.wordpress.com, “nikmatin aja. Kita kan berniat untuk melayani masyarakat.”
Yah...semua itu kembali ke diri masing-masing. Selama semuanya masih bisa dikerjakan, berilah pelayanan yang baik. Selama hati dan pikiran masih memadu sebagai pelayan masyarakat yang faktual dan aktual, maka jiwa raga ini akan terus berpacu, hingga waktunya tiba untuk .......................
By the way, kalau aku boleh narsis, Tribun Pontianak, si semangat baru ini, kujadikan saja sebagai hadiah ulangtahun ku...hehehehehehehehehehehe

Happy Birthday to Me...




Alhamdulillah...wa syukurillah...
Aku tidak memungkiri, 31 Juli adalah hari berbahagia bagi ku...
Bagaimana tidak, tidak terasa, usia ku di hari Kamis ini genap 23 tahun...
Semakin dewasa untuk menentukan jalan hidupku...
Semakin siap untuk menempuh hidup baru...
Amin...

Tepat pukul 00.00, ibu mengucapkan selamat ulangtahun via telepon...padahal kamar ibu hanya berjarak sekitar enam meter dari pintu kamarku...
Tapi bagaimanapun, aku tetap berterimakasih pada ibuku...atas ucapan selamatnya itu...
Aku berterimakasih pada wanita yang ku sayang ini, karena telah melahirkan aku ke dunia ini. Karena telah bersedia memberikan aku kesempatan untuk mengenal kehidupan.
Tentunya, semua itu tidak terlepas dari Kuasa-Nya juga...

Tak lama berselang, a man that i love always called me...
He said, happy birthday. May God bless u all the time...and...(ehem ehem ehem...)

Paginya, barulah aku kebanjiran ucapan ‘Met Ultah’. Mulai dari Diar, Neni, en beberapa teman kampus. Setibanya di kantor, aku mendapatkan ucapan selamat ultah dari beberapa teman kantor. Ternyata mereka masih mengingatku sebagai teman mereka...

Alhamdulillah ya Alloh...Engkau memberikan aku banyak karunia-Mu. Ketika usiaku menjalani 22 tahun, Kau izinkanku memberi kebanggaan pada orangtua dengan menyelesaikan pendidikanku. Kau berikanku kesempatan ke Pulau Jawa dan berjalan-jalan sendirian di sana (alias tidak ditemani orangtua). Di usiaku ini, Kau karuniakan aku pekerjaan yang tidak pernah ku duga-duga. Karunia-Mu mana lagi yang harus aku ragukan.