Selasa, 30 Desember 2008

Air Susu di Jalur Gaza Terhenti

Entahlah...bagaimana penilaian tentang tulisanku ini. Aku hanya ingin mencoba membuka mata hati diriku sendiri dan teman-teman tentang apa yang terjadi di negara sahabat kita di Palestina, pasca Agresi Israel. Saya yakin, tulisan fiktif ini masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan. Karena itu, saya dengan sangat senang hati, terbuka menerima berbagai kritikan dan saran. Terimakasih atas perhatiannya.


Desingan suara peluru mulai meredam. Suara tangis anak-anak berganti isak yang tertahan. Hiruk pikuk kaki manusia yang terbirit-birit mencari tempat yang aman seolah terhenti oleh waktu. Suara adzan menyebut asma Allah terasa pilu. Bekas peluru tajam yang dimuntahkan pesawat perang milik Israel meratakan bangunan di depan mataku.
“Ya Allah. Ada apakah ini sebenarnya,” tanyaku dalam hati.
Pertanyaanku sesak tak tersuarakan. Seorang ibu dengan wajah merah karena darah tengah menggendong bayi mungilnya. Mungkin, bayi itu baru lahir, pikirku. Warna kulitnya masih memerah. Matanya terpejam, namun tetesan airmatanya masih membekas di pipinya yang lembut. Sesakku kian menjadi kala ku melihat sang bayi yang ternyata perempuan itu menggerakkan mulutnya. Sesekali mulutnya menganga, mungkin ia haus, pikirku.
Ibu yang masih menggendong bayi dalam pelukannya tak menghiraukan permintaan sang mungil. Wajahnya merunduk ke arah buah hatinya. Selintas, wajah mereka serupa. Berkulit putih, hidung mancung, alis bak semut beriring. Bola mata sang bayi berwarna coklat, sedangkan ibu …
Aku tak bisa melihat bola matanya. Ku coba tuk tatap matanya. Masa’ sih ibu tak menyadari bahwa bayinya memerlukan air susunya. Ku coba tuk tatap mata sang ibu, tidak sopan, tapi tak apalah. Aku penasaran. Ku arahkan pandanganku ke arah matanya. Yah, benar. Bola matanya coklat. Tapi, kenapa bola matanya tidak bergerak. Tidak bereaksi padaku yang kini ada di hadapnya.
Ku raih tangan yang masih menggendong permata kehidupannya. Terkulai. Puteri kecil itu diam tanpa suara. Bola matanya bergerak, seolah mencoba tuk mengerti apa yang terjadi pada dirinya. Bibirnya masih mencari sumber penghidupan dari sang bunda.
“Ummi, ummi,” sapaku sembari menggoyangkan tubuh wanita yang mengenakan burqah warna hitam itu. Tapi wanita berbibir merah itu tidak menjawab. Tubuhnya bergoyang lemas ketika ku sentuh pundaknya. Pikiranku kalut pada semua kemungkinan yang terjadi pada wanita di depanku ini. Selintas, ku pandangi bayi mungil yang masih dipeluknya.
Sontak aku tersadar ketika ku lihat warna hitam yang begitu pekat di dada kanan sang ibu. Hitamnya lebih gelap daripada bagian pakaiannya yang lain. Ku beranikan diri tuk sentuh warna tersebut. Masya Allah, darah. Iya, warna pekat itu ternyata darah. Sadar apa yang terjadi, ku sentuh wajah wanita yang bersandar pada dinding masjid di Jalur Gaza ini.
“Innalillahi wa inalillahi raji’un. Air susu untuk bayi mungil ini telah terhenti,” ucapku setelah menyadari bahwa perempuan tersebut tewas di antara desingan serbuan tentara Israel ke Jalur Gaza ini.
Sangat tidak berperikemanusiaan tentara Shimon Perez ini. Ibu yang tengah menyusui bayinya pun menjadi korban keganasan timah panas yang dimuntahkan. Apa tidak cukup, anak-anak terpisahkan dari ayah yang mengorbankan diri mereka. Apa tidak cukup mereka membuat kehancuran, meratakan bangunan. Bahkan Masjidil Aqsa pun mereka samarkan dengan keberadaan Dome of Rock, untuk mengelabui umat Muslim dunia. Kini, mereka pun menghentikan tetes demi tetes air susu sang bunda, sumber penghidupan dan rahmat dari Sang Kuasa untuk bayi-bayinya.
Dan akankah bangsa arab membiarkan semakin banyak bayi yang harus kehilangan rahmat tersebut. Akankah umat muslim dunia dapat membela hak-hak mereka yang terhenti beserta nyawa sang bunda yang menemui ajal. Masihkah Mesir berkhianat menutup jalur bantuan untuk mereka. Masihkah Amerika Serikat mengatakan agresi Israel pada rakyat palestina yang tidak berdosa dianggap sebagai penyelamat dunia.

Minggu, 28 Desember 2008

So Damn Israel. Negara Tanpa Hati.

Pertama kali ku dengar berita tentang peristiwa penyerangan Israel terhadap Palestina, aku sempat terperangah. “Kurang ajar banget tuh Israel,” umpatku dalam hati. Serangan tersebut dilakukan Negara sahabat Amerika Serikat ini melalui jalur udara. Bagaimana tidak kurang ajar jika penyerangan yang dilakukan Israel tersebut menewaskan sekitar 275 warga, demikian yang diberitakan www.okezone.com edisi Minggu, 28 Desember 2008. Sebagian besar korban kebiadaban tersebut adalah warga sipil.
Israel yang dilansir oleh okezone mengatakan, penyerangan tersebut untuk memberikan pelajaran kepada tentara Hamas, tentara yang selalu membela kebebasan Bangsa Palestina dari kebiadaban zionis Israel. Menurut Israel seperti yang tertulis di website media Indonesia tersebut, Israel bermaksud memberikan pelajaran kepada Hamas, karena selama ini Israel menganggap Hamas memiliki lokasi yang merupakan kantong bakal peluncuran roket. Bagi Israel, roket tersebut merupakan senjata berbahaya yang perlu dibasmi dan mengancam kehidupan manusia di bumi.
Tidak cukup. Perdana Menteri Israel Ehud Olmert seperti yang dilansir Reuters, Minggu (28/12/2008), akan menggerakkan pasukan angkatan daratnya untuk menjangkau lokasi tersebut. “Kami melakukan pembalasan yang dilakukan oleh militant Gaza. Mereka membombardir kami dengan roket. Ini merupakan pembalasan. Ada saatnya kami diam, dan ada waktunya kami membalas. Sekarang waktunya bertempur,” katanya.
Selama serangan Minggu pagi (28/12), jet-jet tempur Israel sudah menewaskan tiga warga sipil. Misil-misil ditembakkan dari udara ke arah markas kantor polisi Gaza. Sementara itu kementerian departemen pertahanan Israel merilis video serangan udara yang diklaim tepat sasaran. Israel mengnincar fasilitas peluncuran roket-roket Hamas yang berada di bawah tanah. Untuk menjangkau fasilitas tersebut, Israel menggunakan misil yang tak hanya membunuh ratusan warga sipil, namun juga meratakan bangunan-bangunan di sekitarnya.
Akibat serangan ini, Hamas bersumpah akan melakukan penyerangan balik terhadap Israel. Wajar, saya rasa, hal tersebut dilakukan para pejuang Palestina. Bahkan, mereka juga menetapkan perang intifadah terhadap Negara yang dipimpin oleh Presiden Shimon Perez itu. Perang sampai titik darah penghabisan untuk membela rakyat Palestina yang semakin lama kian menjadi korban kekerasan perang.
Saya sebagai seorang manusia setuju dengan Wakil Presiden Indonesia, Muhammad Jusuf Kalla, mengecam tindakan kebiadaban Israel. Kutukan paling buruk memang pantas diberikan kepada Israel. Jikalaupun memang Hamas memiliki perlengakapan persenjataan secanggih itu, kenapa harus Israel yang melakukan penghukuman terhadap Negara yang pernah dipimpin oleh Yasser Arafat tersebut. Jika persenjataan milik Hamas tersebut membahayakan dan mengancam kehidupan manusia, kenapa warga sipil harus menjadi korban penghukuman yang mungkin ditujukan kepada pemilik senjata itu.
Yang lebih mengherankan lagi, kenapa harus Israel dan tentaranya yang melakukan penghukuman itu. Kenapa Amerika Serikat melakukan veto untuk merintangi usaha PBB menghentikan penyerangan yang dilakukan Israel terhadap Palestina.
Anehnya lagi, Negara-negara di Liga Arab diam ketika saudaranya menjadi korban kebiadaban Israel. Wajar jika masyarakat Arab melakukan aksi demo mengecam kebiadaban Israel sekaligus memperingatkan Liga Arab untuk tidak sekedar diam atau tutup telinga terhadap penderitaan warga tidak bersalah yang menjadi korban. Saat ini, LIga Arab diharapkan untuk tidak diam. Karena kediaman saat ini menyatakan bahwa Liga Arab yang terdiri dari banyak Negara di tanah Arab lemah menghadapi satu Negara yaitu Israel.
Sebagai seorang wanita, saya lebih memikirkan nasib anak-anak yang menjadi korban perang. Entah berapa banyak anak-anak yang harus hidup dengan tubuh yang tidak sempurna. Entah berapa banyak anak-anak yang hidup di antara desingan peluru tajam yang berbahaya. Entah berapa anak-anak yang rindu pada ayahnya yang telah tewas akibat perang, bahkan kebanyakan dari mereka adalah pejuang bangsa. Entah berapa banyak bayi yang haus air susu ibunya, karena sumber kehidupannya itu terhenti, sang ibu tewas tertembak peluru tajam.
Israel memang tak berprikemanusiaan. Tak punya hati. Seolah petingginya tidak pernah memiliki anak, istri, dan bunda. Sehingga mereka begitu tega menjadikan warga Palestina sebagai korban, dengan dalih untuk menghancurkan senjata canggih yang dimiliki tentara Hamas. Tepatlah rasanya jika kupilih kata Kurang Ajar untuk Israel.

Senin, 22 Desember 2008

Pertahanan Seorang Ibu



Seorang ibu sedang mengais sebuah tempat sampah. Pakaian putihnya yang lusuh mungkin telah beberapa hari tidak dicuci. Kalaupun dicuci, mungkin saja tidak pernah menggunakan sabun detergent yang harum ataupun yang memiliki system anti bakteri. Lihat saja, warna putih itu memudar menjadi warna kecoklatan.
Keringatnya menetes di dahi hingga ke pipinya. Di punggungnya, tergendong sebuah keranjang berisikan onggokan sampah plastic. Meskipun, keranjang rotan yang telah bertampalkan selotip hitam itu hampir terisi penuh, ia tetap berusaha untuk memasukkan botol-botol plastic ke dalamnya.
Di usap kening dan pipinya. Terlihat ia sedang menelan air liurnya sendiri sehingga kulit lehernya seolah bergeser. Ditatapnya langit yang mulai menampakkan senja merah di ufuk barat. Ternyata hari mulai petang.
Ia pun mengayunkan langkah kakinya. Setibanya di sebuah rumah yang halamannya berisikan banyak tumpukan sampah, ia pun meletakkan pendapatannya ke timbangan.
“Yup. Pendapatan kamu lebih banyak hari ini, Bu Mina. Lumayan, dapat tiga puluh ribu rupiah. Ini duitnya ya,” kata si bos barang bekas tersebut, sembari memberikan tiga lembar uang sepuluh ribuan ke Ibu penggaruk sampah itu.
Melihat uang yang ada di tangan keriputnya, mata sang ibu tampak berbinar. Ia segera mengucapkan terimakasih pada si bos. Langkah kakinya pun segera ia ayunkan ke rumahnya. Bukan. Rumah itu tidak layak disebut rumah. Bentuk tiangnya condong ke arah kiri. Beberapa gentengnya mulai peot. Sangat tidak serasi jika dibandingkan dengan perumahan komplek yang ada di balik tembok pembatas kasta si kaya dan si miskin.
Langkah kakinya begitu ringan. Tidak terasa sebelum maghrib, ia tiba di rumah peninggalan suami yang terlebih dahulu meninggalkannya menghadap Yang Maha Kuasa itu. Dibuka pintu yang mengeluarkan suara yang berdecit. Ia pun masuk ke dalam satu-satunya kamar tidur yang ada di pondok tersebut. Dihitungnya lagi uang yang selama perjalanan pulang digenggamnya. Kemudian, uang tersebut dimasukkan ke dalam celengan ayam.
“Sudah mulai berat sepertinya celengan ini,” ujar sang ibu sembari mengelus celengan hasil jerih payahnya seumur hidup itu. Senyumnya terukir di bibir yang mulai pecah. Ditatapnya sebuah foto seorang pemuda yang tergantung di dinding sebelah kanannya.
“Ibu sayang kamu, nak. Akan ibu ujudkan impianmu,” ucap sang ibu sembari senyum yang tak terlepas dari bibirnya itu.
Di dalam kebahagiaan memeluk celengan ayam, samar-samar telinganya mendengar langkah yang begitu pelan. Suara langkah tersebut berada di dalam rumahnya. Belum sempat ia menerka suara langkah siapakah itu, matanya menangkap sosok seorang pria berbaju hitam dengan wajah yang tertutup. Tangan kanan pria itu memegang pisau.
“Masya Allah, ternyata pintuku tidak tertutup,” ujar sang ibu yang mulai menyadari siapakah pria itu.
Pisau pria itu diacungkan ke wajah sang ibu. Sementara tangan kirinya berusaha merebut celengan ayam yang masih berada dalam pelukan sang ibu. Sang ibu ternyata tidak rela melepaskan celengan tersebut. Ia bahkan menggigit tangan kiri pria itu. Sang pria pun mengaduh kesakitan. Ia berusaha menghilangkan rasa sakit akibat gigitan itu dengan cara mengayun dan mengelus tangannya.
Melihat kesempatan itu, sang ibupun berlari menuju ke pintu kamar. Ia berhasil melewati kamar menuju ruang tamu.sambil berteriak meminta pertolongan tetangga. Ternyata, tetangga yang mungkin sedang tenggelam dalam keheningan senja tidak mendengar teriakan ibu yang mulai senja itu. Tak seorangpun tetangga yang keluar tuk menolong sang ibu. Apalagi jarak rumah sang ibu dengan tetangga terdekat sekitar lima meter, terpisahkan oleh kebon pisang.
Sang ibu tidak putus asa. Ia tetap berteriak sembari melangkahkan kakinya ke teras rumah. Kedua tangannya tetap memeluk celengan ayam. Pria bertopeng menyadari mangsanya itu akan membahayakan jiwanya. Segera ia menyusul mangsa yang hamper tua itu. Tak peduli ia bahwa mangsanya sedang kelelahan karena baru saja pulang dari kerja. Tak peduli bahwa mangsanya baru sedetik merasakan kebahagiaan atas pendapatannya. Bejat benar pria bertopeng itu.
Ibu berusaha melangkahkan kakinya meminta pertolongan tetangga. Hingga akhirnya, matanya yang mulai basah oleh airmata, menatap sosok bayangan dari arah kirinya. Sosok bayangan seorang pria yang terekam dalam memorinya selama 25 tahun. Ia tersenyum karena sosok itu adalah orang yang sangat dirindukannya.
“Tinggal beberapa langkah lagi,” bisik hati sang ibu sembari melangkahkan kakinya ke arah bayangan tersebut.
Sesaat hati kecilnya berbisik, sang ibu merasakan ada yang menancap di punggungnya. Ia merasakan punggungnya basah oleh cairan yang sangat pekat. Tangan kiri sang ibu mengelus punggungnya yang kesakitan. Merah, darah. Pandangannya seolah berputar. Ia pun terjerembab ke tanah dengan lutut menopang tubuhnya agar celengan ayamnya tidak pecah oleh tubuhnya.
Bibirnya bergetar menyebut nama Allah. Ia berusaha membalikkan tubuhnya. Dilihatnya pria bertopeng ada di hadapnya. Tangan pria tersebut menyentuh celengan yang masih berada dalam pelukannya. Pria topeng itu menarik celengan, tapi tenaga sang ibu ternyata masih kuat mempertahankan incaran pria bertopeng.
Pria itu ternyata geram melihat pertahanan sang ibu. Ia mengayunkan lagi pisau kea rah perut sang ibu.
“Allahu Akbar,” teriak sang ibu dengan sisa tenaganya. Ia hanya percaya bahwa Allah akan menjaga apa yang dilindunginya.
Teriakan sang ibu ternyata menakuti pria bertopeng. Ia segera menjauh meninggalkan tubuh tak berdaya itu. Niatnya untuk mengambil celengan urung. Apalagi tetangga banyak yang berkeluaran mendengar suara ibu renta tersebut.
Bayangan seorang pria yang dilihat sang ibu mendekat kea rah tubuh yang tergolek tak berdaya. Diangkatnya kepala sang ibu dan dikecupnya kening perempuan tersebut. Sang ibu tersenyum melihat wajah yang bukan lagi bayangan di hadapannya. Airmatanya berlinang karena pria tersebut sangat dirindukannya.
“Ibu, kita ke rumah sakit ya. Ibu harus segera ditolong,” kata pria tersebut yang ternyata adalah anak sematawayangnya.
Sang ibu hanya menggeleng. Dielus wajah sang anak sembari senyum tersebut terus terukir di bibirnya.
“Ini untuk ongkos skripsimu, Bayu,” kata sang ibu sembari meletakkan tangan putranya ke celengan ayamnya itu.
“ Ibu tidak mau orang jahat itu mengambilnya darimu. Tidak ada lagi yang bisa ibu berikan padamu. Kecuali ini. Ingat teruslah pada Alloh…Allohu Akbar,” sang ibu pun meneteskan airmata untuk terakhir kalinya. Namun senyumnya tetap terukir di bibirnya yang merekah indah. Senyum melihat wajah putranya untuk terakhir kalinya. Sembari kebahagiaan memberi yang terbaik untuk sang anak. Tak lain, agar sang anak meraih cita-citanya.

Di atas pusara ini, aku berkunjung padamu, Ibu. Aku berhasil meraih gelar dokterku karena ibu. Celengan ayam itu masih tersimpan di kamar tidurku. Kadang aku bertanya, kenapa ibu mengorbankan nyawa hanya untuk celengan ayam itu. Aku tidak bisa temukan jawabnya. Tapi, yang aku tahu, ibu sangat menyayangiku…Senyummu akan terus ada di hidupku

Kamis, 18 Desember 2008

Wajah-wajah ceria

Waktu yang paling berbahagia adalah ketika melihat orang tersenyum pada aku...
Senyum yang paling dirindukan adalah senyum orang-orang yang ku sayangi...
Siapakah orang-orang tersayang yang memiliki senyum bahagia nan ceria, yang selalu ku rindukan...


My Lovely Parents ofcourse as the first



My Missed Brothers, are

Arif Nyebelin, hehehe



RQ kuyuuuuuuuz...


Aril cengeng...


My Bunny-M always ever after...
U'll be the first man after u marry me...
But now, u are in second place after my dad...

Tribun Pontianak Euy....



Sejak 7 April 2008, aku mengenal satu keluarga yang bernama Tribun Pontianak.
Anggotanya lucu-lucu, tapi yang identik sih orang-orang gendut khas Tribun Pontianak...hehehehe...
Ada mentor-mentor yang selalu ku anggap sebagai orangtua.
Pak Ronald Ngantung yang kebapakan dan mengajarkan aku tentang cara menulis features.
Om Albert yang selalu ku sapa dengan Om karena begitu dekat denganku.
Daeng Andi Asmadi, sosok bugis yang selalu menyapaku dengan adik.
Babe Adrizon, orang padang yang lutchu buanget...

Selain mereka, ku kenal juga dengan beberapa nama teman yang hebat dan wartawan yang berkualitas. Kak Fitri yang mendedikasikan masa mudanya untuk menulis. Atau Zami dan Rozi yang jauh-jauh dari Pekanbaru untuk membantu membangun Tribun Pontianak. Ada Arthur, Kak Dian, Bang Akim, Bang Aciiim, Bang Endi, Bang Didit yang mau membagi ilmunya di dunia kejurnalistikan. Ada juga Devi, Kak Uli, Nina, Danila, Ishaq, Galih, Bram, Mas Dekky, Agung, Iin, Jamadin, Dasa, dan masih banyak lagi yang selalu berbagi ceria dalam aktivitas kejurnalistikan.

Serta Dika, Mahoed, Inggo, Dayat, Bang Hendro, Bang Reno, yang akhirnya ku kenal sebagai Para LayOuter dan Design Grafis. Dan masih banyak lagi temen2 Tribun dari daerah lainnya yang terus menjalin pesahabatan dengan bertandang ke kota Khatulistiwa yang ku cintai. Dan yang tidak disebut jangan marah ya...

Satu-satu di antara kami pun banting stir dengan meninggalkan TP. Akhirnya, pada 15 November, aku ambil langkah untuk meninggalkan Tribun Pontianak. Tujuanku, untuk meraih mimpi dan harapan...

Ku akui, aku merindukan mereka. Meski tidak bersama saat ini, mereka adalah kenangan, keceriaan, kebahagiaan, dan ilmu yang terus membekas di hatiku.

Kepada kalian....
I misz u all...
Thanks for being my frens always...