Senin, 22 Desember 2008

Pertahanan Seorang Ibu



Seorang ibu sedang mengais sebuah tempat sampah. Pakaian putihnya yang lusuh mungkin telah beberapa hari tidak dicuci. Kalaupun dicuci, mungkin saja tidak pernah menggunakan sabun detergent yang harum ataupun yang memiliki system anti bakteri. Lihat saja, warna putih itu memudar menjadi warna kecoklatan.
Keringatnya menetes di dahi hingga ke pipinya. Di punggungnya, tergendong sebuah keranjang berisikan onggokan sampah plastic. Meskipun, keranjang rotan yang telah bertampalkan selotip hitam itu hampir terisi penuh, ia tetap berusaha untuk memasukkan botol-botol plastic ke dalamnya.
Di usap kening dan pipinya. Terlihat ia sedang menelan air liurnya sendiri sehingga kulit lehernya seolah bergeser. Ditatapnya langit yang mulai menampakkan senja merah di ufuk barat. Ternyata hari mulai petang.
Ia pun mengayunkan langkah kakinya. Setibanya di sebuah rumah yang halamannya berisikan banyak tumpukan sampah, ia pun meletakkan pendapatannya ke timbangan.
“Yup. Pendapatan kamu lebih banyak hari ini, Bu Mina. Lumayan, dapat tiga puluh ribu rupiah. Ini duitnya ya,” kata si bos barang bekas tersebut, sembari memberikan tiga lembar uang sepuluh ribuan ke Ibu penggaruk sampah itu.
Melihat uang yang ada di tangan keriputnya, mata sang ibu tampak berbinar. Ia segera mengucapkan terimakasih pada si bos. Langkah kakinya pun segera ia ayunkan ke rumahnya. Bukan. Rumah itu tidak layak disebut rumah. Bentuk tiangnya condong ke arah kiri. Beberapa gentengnya mulai peot. Sangat tidak serasi jika dibandingkan dengan perumahan komplek yang ada di balik tembok pembatas kasta si kaya dan si miskin.
Langkah kakinya begitu ringan. Tidak terasa sebelum maghrib, ia tiba di rumah peninggalan suami yang terlebih dahulu meninggalkannya menghadap Yang Maha Kuasa itu. Dibuka pintu yang mengeluarkan suara yang berdecit. Ia pun masuk ke dalam satu-satunya kamar tidur yang ada di pondok tersebut. Dihitungnya lagi uang yang selama perjalanan pulang digenggamnya. Kemudian, uang tersebut dimasukkan ke dalam celengan ayam.
“Sudah mulai berat sepertinya celengan ini,” ujar sang ibu sembari mengelus celengan hasil jerih payahnya seumur hidup itu. Senyumnya terukir di bibir yang mulai pecah. Ditatapnya sebuah foto seorang pemuda yang tergantung di dinding sebelah kanannya.
“Ibu sayang kamu, nak. Akan ibu ujudkan impianmu,” ucap sang ibu sembari senyum yang tak terlepas dari bibirnya itu.
Di dalam kebahagiaan memeluk celengan ayam, samar-samar telinganya mendengar langkah yang begitu pelan. Suara langkah tersebut berada di dalam rumahnya. Belum sempat ia menerka suara langkah siapakah itu, matanya menangkap sosok seorang pria berbaju hitam dengan wajah yang tertutup. Tangan kanan pria itu memegang pisau.
“Masya Allah, ternyata pintuku tidak tertutup,” ujar sang ibu yang mulai menyadari siapakah pria itu.
Pisau pria itu diacungkan ke wajah sang ibu. Sementara tangan kirinya berusaha merebut celengan ayam yang masih berada dalam pelukan sang ibu. Sang ibu ternyata tidak rela melepaskan celengan tersebut. Ia bahkan menggigit tangan kiri pria itu. Sang pria pun mengaduh kesakitan. Ia berusaha menghilangkan rasa sakit akibat gigitan itu dengan cara mengayun dan mengelus tangannya.
Melihat kesempatan itu, sang ibupun berlari menuju ke pintu kamar. Ia berhasil melewati kamar menuju ruang tamu.sambil berteriak meminta pertolongan tetangga. Ternyata, tetangga yang mungkin sedang tenggelam dalam keheningan senja tidak mendengar teriakan ibu yang mulai senja itu. Tak seorangpun tetangga yang keluar tuk menolong sang ibu. Apalagi jarak rumah sang ibu dengan tetangga terdekat sekitar lima meter, terpisahkan oleh kebon pisang.
Sang ibu tidak putus asa. Ia tetap berteriak sembari melangkahkan kakinya ke teras rumah. Kedua tangannya tetap memeluk celengan ayam. Pria bertopeng menyadari mangsanya itu akan membahayakan jiwanya. Segera ia menyusul mangsa yang hamper tua itu. Tak peduli ia bahwa mangsanya sedang kelelahan karena baru saja pulang dari kerja. Tak peduli bahwa mangsanya baru sedetik merasakan kebahagiaan atas pendapatannya. Bejat benar pria bertopeng itu.
Ibu berusaha melangkahkan kakinya meminta pertolongan tetangga. Hingga akhirnya, matanya yang mulai basah oleh airmata, menatap sosok bayangan dari arah kirinya. Sosok bayangan seorang pria yang terekam dalam memorinya selama 25 tahun. Ia tersenyum karena sosok itu adalah orang yang sangat dirindukannya.
“Tinggal beberapa langkah lagi,” bisik hati sang ibu sembari melangkahkan kakinya ke arah bayangan tersebut.
Sesaat hati kecilnya berbisik, sang ibu merasakan ada yang menancap di punggungnya. Ia merasakan punggungnya basah oleh cairan yang sangat pekat. Tangan kiri sang ibu mengelus punggungnya yang kesakitan. Merah, darah. Pandangannya seolah berputar. Ia pun terjerembab ke tanah dengan lutut menopang tubuhnya agar celengan ayamnya tidak pecah oleh tubuhnya.
Bibirnya bergetar menyebut nama Allah. Ia berusaha membalikkan tubuhnya. Dilihatnya pria bertopeng ada di hadapnya. Tangan pria tersebut menyentuh celengan yang masih berada dalam pelukannya. Pria topeng itu menarik celengan, tapi tenaga sang ibu ternyata masih kuat mempertahankan incaran pria bertopeng.
Pria itu ternyata geram melihat pertahanan sang ibu. Ia mengayunkan lagi pisau kea rah perut sang ibu.
“Allahu Akbar,” teriak sang ibu dengan sisa tenaganya. Ia hanya percaya bahwa Allah akan menjaga apa yang dilindunginya.
Teriakan sang ibu ternyata menakuti pria bertopeng. Ia segera menjauh meninggalkan tubuh tak berdaya itu. Niatnya untuk mengambil celengan urung. Apalagi tetangga banyak yang berkeluaran mendengar suara ibu renta tersebut.
Bayangan seorang pria yang dilihat sang ibu mendekat kea rah tubuh yang tergolek tak berdaya. Diangkatnya kepala sang ibu dan dikecupnya kening perempuan tersebut. Sang ibu tersenyum melihat wajah yang bukan lagi bayangan di hadapannya. Airmatanya berlinang karena pria tersebut sangat dirindukannya.
“Ibu, kita ke rumah sakit ya. Ibu harus segera ditolong,” kata pria tersebut yang ternyata adalah anak sematawayangnya.
Sang ibu hanya menggeleng. Dielus wajah sang anak sembari senyum tersebut terus terukir di bibirnya.
“Ini untuk ongkos skripsimu, Bayu,” kata sang ibu sembari meletakkan tangan putranya ke celengan ayamnya itu.
“ Ibu tidak mau orang jahat itu mengambilnya darimu. Tidak ada lagi yang bisa ibu berikan padamu. Kecuali ini. Ingat teruslah pada Alloh…Allohu Akbar,” sang ibu pun meneteskan airmata untuk terakhir kalinya. Namun senyumnya tetap terukir di bibirnya yang merekah indah. Senyum melihat wajah putranya untuk terakhir kalinya. Sembari kebahagiaan memberi yang terbaik untuk sang anak. Tak lain, agar sang anak meraih cita-citanya.

Di atas pusara ini, aku berkunjung padamu, Ibu. Aku berhasil meraih gelar dokterku karena ibu. Celengan ayam itu masih tersimpan di kamar tidurku. Kadang aku bertanya, kenapa ibu mengorbankan nyawa hanya untuk celengan ayam itu. Aku tidak bisa temukan jawabnya. Tapi, yang aku tahu, ibu sangat menyayangiku…Senyummu akan terus ada di hidupku

Tidak ada komentar: