Kamis, 19 Februari 2009

Indonesia Perlu Belajar dari Hillary…




SIAPA yang tidak tahu tentang berita ini. Dari pejabat hingga tukang becakpun tahu. Ini terbukti ketika beberapa saat lalu, aku membeli Koran di kios sekitar rumahku, seorang tukang becak menanyakan padaku, “mau liat berita tentang kedatangan Hillary ya, neng,” tanyanya. Dan aku pun mengiyakan pertanyaan itu.

Kunjungan Hillary Rodham Clinton sebagai Menteri Luar Negeri Amerika Serikat itu tentunya menarik simpati masyarakat Indonesia, namun tidak menutup kemungkinan cercaan tanda tidak menyetujui kehadiran tersebut dari beberapa pihak. Bagi saya pribadi, kunjungan mantan First Lady AS itu merupakan tanda bahwa ia sangat mendukung pemerintahan baru AS di bawah kepemimpinan Presiden Barrack Hosein Obama.

Dari sekian banyak pernyataan Hillary, ada satu pernyataan ketika istri Bill Clinton ini diwawancarai oleh Isyana Bagoes Oka (pembaca berita) dan Luna Maya (host) di acara musik Dahsyat produksi RCTI, Kamis (19/2). Yang berdasarkan pemahaman saya sebagai berikut,

“Saya memang kecewa saat kalah dalam pemilihan presiden atas Obama, meskipun saya memiliki pendukung yang banyak. Namun, karena saya terbiasa untuk berdemokrasi, kekalahan tersebut adalah hal yang biasa. Saya tersanjung ketika Obama meminta saya menjadi menteri luar negeri. Saya terima permintaan itu demi Presiden saya dan Negara yang saya cintai.”

Wah, kalimat yang keluar dari bibir milik ibu Chelsea Clinton itu seolah menyihir pemikiran saya untuk menulis artikel ini. Betapa tidak, seorang Hillary dapat menerima kekalahan tersebut sebagai hasil dari demokrasi di Negara Paman Sam tersebut. Bahkan, ia mendukung pemerintahan presiden terpilih Barrack Obama dan berjuang bersama Obama untuk memperbaiki eksistensi negaranya di mata dunia. Itu terbukti dengan sejumlah kunjungannya di beberapa negara asia dan eropa. Kunjungan yang mengusung perdamaian dunia.

Sebagian organisasi di Negara Bhineka Tunggal Ika ini tidak setuju bahkan melakukan aksi demo menolak kedatangan Hillary Clinton, karena mereka menganggap kunjungan ini merupakan kmuflase AS untuk menarik simpati Indonesia. Tapi bagi saya kunjungan wanita kelahiran 26 Oktober 1947 itu merupakan pembelajaran bagi bangsa Indonesia.

Semoga saja, siapapun tokoh yang berhasil menjadi pemimpin Negara Indonesia ini dapat merangkul pesaing politiknya untuk membangun bangsa, seperti yang telah dilakukan Barrack Obama. Semoga saja, siapapun yang kalah dalam pemilihan ini, memiliki sikap demokrasi seperti yang ditunjukkan oleh Hillary. Yaitu dengan berjuang bersama memperbaiki Negara yang telah diperjuangkan oleh pahlawan bangsa hingga merdeka. Yaitu dengan mendukung kebijakan dan kepemimpinan presiden terpilih nantinya.

Bukannya malah mencela kekurangan maupun kesalahan presiden terpilih. Apalagi menjadikan kekurangan tersebut sebagai senjata untuk menjatuhkan presiden, dengan harapan ia yang mencela itu akan terpilih sebagai penggantinya. Toh, tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Toh, presiden adalah manusia juga, yang tidak sempurna. So, untuk apa menuntut kesempurnaan seorang presiden. Karena kesempurnaan timbul karena adanya dukungan dan kerjasama.

Jujur, sebagai masyarakat awam, saya capek mendengar para pelaku politik saling berusaha untuk menjatuhkan pesaingnya. Namun, kehadiran Hillary Clinton memberikan angin segar bukan hanya untuk saya, tetapi juga untuk pelaku politik Indonesia yang sedang berebut kursi legislative serta tampuk kepresidenan.

Jadi, Hillary…telah membuktikan demokrasi perlu dimaknai dalam bersikap. Karena demokrasi bukanlah janji untuk memberikan pemanis di bibir belaka. Tidak ada salahnya kan, bangsa yang telah merdeka sejak 1945 ini belajar untuk memaknai kekalahan pemilu dalam berdemokrasi. Toh, presiden dan legislatif bukan milik satu individu atau parpol saja, tapi milik seluruh komponen bangsa.
Amin Ya Rabbal Alamin….

1 komentar:

gila^ontel mengatakan...

Begitulah..ketika sebuah kompetisi di ranah politik bukan absolut ambisi individu atau golongan. Melainkan sebuah kemauan untuk memahami bahwa kepentingan negara di atas segalanya. Memang tidak bagi sebuah negara memiliki iklim kompetisi demokrasi seperti itu. Kita mestinya juga mulai belajar dewasa, terutama para politisi yang kini berlomba-lomba mengejar mimpi, meski sekadar jadi legsilasi...
semoga, ada Ririn Ririn lain yang kini sedang mencalonkan diri...Ketika menang kalah dianggap benar-benar biasa, jika tidak adalah pilihan terbaik dan terhormat..